The Freedom To Love

Top, Bottom dan Vers

Andi: Hay..
Toyo : Hay too, jawab ku
Andi : Asl and stat?
Toyo : 31, single, jakarta, 170 cm dan 65 kg, jawab ku pula..
Andi : top / bot?
Toyo : Ver, ke top, jawab ku

Itu biasa petikan chat yang dilakukan oleh komunitas gay dalam dunia internet. Mempertanyaan umur, lokasi, tinggi badan dan berat badan selalu ditanyakan oleh kedua orang gay. Internet memang menjadi media untuk saling komunikasi antar teman sesama gay. Melalui internet lah dapat menjalin hubungan persahabatan, cinta bahkan sampai sex. Memang ini juga banyak dilakukan oleh kelompok heteroseksual juga, interner sebagai media mencari teman dan pasangan.


Mempertanyakan umur dan status seseorang memang akan menjadi "biasa" bagi orang yang sedang berkenalan dan tidak bertatap muka. Tetapi menanyakan apakah anda top, bot ataupun versitale, itu menjadi persoalan bagi diri ku sendiri? Top diartikan seorang gay yang memerankan prilaku seksual sebagai subjek penetrasi. Sedangkan bot dari kata bottom adalah seorang gay akan "menerima" penetrasi (dianal sex). Sedangkan versitile adalah seorang gay yang dapat memerankan prilaku seksualnya keduanya. Baik sebagai penetrasi ataupun sebaliknya. Sehingga ada lagi seorang selalu ditempatkan sebagai Top Pure ataupun bot pure.

Pelabelan tersebut sampai sekarang masih saja terus mengakar dalam pikiran teman - teman gay di seluruh Indonesia bahkan di dunia. Tapi lagi - lagi pelabelan itu bukan sebatas label. Ada dampak dari itu semua. Biasanya seorang gay yang Top akan merasa lebih baik daripada versitale, begitu juga versitale akan merasa lebih baik daripada bottom.
Dan dalam tindakan prilaku sehari - hari seorang yang Top akan berperan macho dan maskulin. Sedangkan kalau bottom selalu diidentikan dengan feminin.
Tidak sedikit teman - teman gay yang bottom akan mengatakan dirinya versitale. Padahal dia adalah bottom hanya karena dia tidak mau dilabelkan rendah. Walau sudah mulai banyak gay lebih percaya diri mengatakan dirinya adalah bottom.

Jarang pasangan gay yang berhubungan dengan Top dan Top atau bot dengan bot. Kecuali vers dengan vers. Hubungan selalu dengan Top dan Bot, Top dengan vers atau ver dengan bot. Tapi intinya harus ada yang memerankan Top dan bot dalam pasangannya. Jadi ibaratnya harus ada yang "menjadi" laki - laki dan perempuan. Padahal hubungan homoseksual sudah keluar dari mainstrem seksualitas yaitu heteroseksual. Tapi lingkaran itu tetap saja masuk dalam lingkaran hubungan heterosentris.

Pengkotakan hubungan top dan bot, ini menunjukkan bahwa ada beberapa hal yang dapat dianalisa :

1. Pasangan gay (antara top dan bot), masih terperangkap dalam pandangan heterosentris yang partriakis. Artinya bahwa hubungan prilaku seksual itu harus ada melakukan penetrasi. Ini konsep yang diadopsi dalam hubungan heteroseksual. Bahwa kenikmatan seksual hanya akan terjadi kalau dilakukan dengan penetrasi.

2. Bahwa maskulin lebih berharga atau lebih baik dari feminin. Ini menunjukkan bahwa konsep partriaki masih mengakar dalam pikiran disetiap gay. Bahwa seseorang yang macho dan maskulin akan menjadi seorang gay yang bernilai dan akhirnya selalu dilabelkan sebagai role sex nya sebagai Top.

3. Bahwa pandangan seksualitas itu cair masih belum banyak dipahami. Sehingga apabila seorang gay akan berusaha menempatkan dirinya sebagai role sexnya sebagai apa? apakah top, biseks ataupun bottom. Padahal kenikmatan sex bukan hanya melalui penetrasi saja. Banyak variasi sex yang bisa dilakukan.

4. Ada pelabelan sendiri bahwa maskulin = Top, dan Bot = Feminin. Ini menunjukkan ada pemisahan identitas yang jelas antara Top dan Bot. Padahal ada banyak seorang yang feminin juga dapat menjadi Top. Seperti seorang waria juga dapat melakukan sebagai top atau seorang yang macho juga sebagai bot.

Sehingga menjadi penting untuk memberikan pendidikan seksualitas pada kelompok LGBTIQ mengenai seksualitas dan gender.

0 komentar: